BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsep
ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) sudah lama dipikirkan dan dikembangkan
secara khusus oleh pakar ekonomi di dalam maupun di luar negeri dengan berbagai
varian pengertian dan ciri-cirinya (Douglas (1920). Salah satu yang memikirkan konsep ekonomi
kerakyatan adalah M. Hatta yaitu sejak 1930
kemudian dirumuskan ke dalam konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Menurut Pasal 33 UUD 1945, ekonomi kerakyatan
adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat dalam bidang ekonomi.
Tiga prinsip dasar ekonomi
kerakyatan adalah sebagai berikut:
1.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan
2.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
3.
Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan
ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara
dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2
dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi
lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi (2) Mengembangkan BUMN;
(3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung
didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap
warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5)
memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Akan
tetapi ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar prinsip maupun teori teori
yang tidak diterapkan di masyarakat. Perlu adanya pemnberian perhatian utama
kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu
merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa
kewirausahaan. Tidak dapat disangkal
bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik
(political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek
membagi-bagi uang kepada rakyat kecil adalah sesuatu kekeliruan besar dalam
perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Tetapi yang seharusnya dilakukan
pemerinta adalah memberi pelatihan keterampilan dan modal agar masyarakat dapat
membuka lapangan pekerjaannya sendiri.
Selanjutnya,
pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya
pemerintah mengurangi bentuk campur tangannya untuk mendorong ekonomi
kerakyatan berkembang secara sehat. Kali
ini kami akan membahas tentang pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang ada pada
masyarakat kita.
B.
Tujuan Penulisan
Makalah ini di buat dengan tujuan sebagai tugas dari
perkuliahan, kemudian dari pada itu, dengan terselesaikannya makalah ini, ada
tujuan yang lebih penting dari hanya sekedar tugas perkuliahan, yakni pembaca diharapkan
daopat memahami konsep dari pemberdayaan ekonomi rakyat yang telah penulis coba
jelaskan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Pemberdayaan
Pemberdayaan
adalah terjemahan dari empowerment, sedang memberdayakan adalah terjemahan dari
empower. Menurut merriam Webster dan Oxford English Dictionary, kata empower
mengandung dua pengertian, yaitu: (1) to give power atau authority to atau
memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak
lain; (2) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan
atau keperdayaan.
Beberapa
literatur menyebutkan, bahwa konsep pemberdayaan sudah lahir sejak revolusi
industri atau ada juga yang menyebut sejak lahirnya Eropa modern pada abad 18
atau zaman renaissance, yaitu ketika orang mulai mempertanyakan diterminisme
keagamaan. Kalau pemberdayaan dipahami sebagai upaya untuk keluar atau melawan
diterminisme gereja serta monarki, maka pendapat bahwa gerakan pembedayaan
mulai muncul pada abad pertengahan barangkali benar.
Konsep
pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai
mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika
industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat
yang pekerja yang dikuasai. Di negara-negara sedang berkembang, wacana
pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial,
kesenjangan ekonomi, degradasi sumberdaya alam, dan alienasi masyarakat dari
faktor-faktor produksi oleh penguasa.
Karena
kekurangtepatan pemahanan mengenai pemberdayaan, maka dalam wacana praktik
pembangunan, pemberdayaan dipahami secara beragam. Yang paling umum adalah
pemberdayaan disepadankan dengan partisipasi. Padahal keduanya mengandung
pengertian dan spirit yang tidak sama.[1]
B.
Pengertian Ekonomi
Kerakyatan
Sistem Ekonomi Kerakyatan
adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan,
berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan
sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat.
Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi kerakyatan
yang berkeadilan sosial
1.
berdaulat di bidang politik
2.
mandiri di bidang ekonomi
3.
berkepribadian di bidang budaya
Yang mendasari paradigma
pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan social :
1.
penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk
ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi
2.
pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan
multikultural
3.
pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi
dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
“Ekonomi Rakyat oleh sistem
monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia
Menggugat, 1930: 31)”.
Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi
Kerakyatan
1.
Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat
secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
2.
Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
3.
Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
Ekonomi kerakyatan adalah
sistem ekonomi yang mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dalam proses
pembangunan. Sistem ekonomi kerakyatan mencakup administrasi pembangunan
nasional mulai dari sistem perencanaan hingga pemantauan dan pelaporan.
Sesungguhnya ekonomi kerakyatan adalah demokrasi ekonomi yang dikembangkan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 khususnya Pasal 33 beserta penjelasannya
yang menyatakan “Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang per orang. Sebab itu perekonomian disusun sebagaiusaha bersama
berdasarkan azas kekeluargaan. Bangun yang sesuai itu adalah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang.
Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara.
Dainy Tara (2001) membuat
perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’.
Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan
perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat,
yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi
struktur dunia usaha.
Ekonomi kerakyatan adalah
watak atau tatanan ekonomi dimana, pemilikan aset ekonomi harus didistribusikan
kepada sebanyak-banyaknya warga negara. Pendistribusian aset ekonomi kepada
sebanyak-banyaknya warga negara yang akan menjamin pendistribusian barang dan
jasa kepada sebanyak-banyaknya warga negara secara adil. Dalam pemilikan aset
ekonomi yang tidak adil dan merata, maka pasar akan selalu mengalami kegagalan,
tidak akan dapat dicapai efisiensi yang optimal (Pareto efficiency) dalam
perekonomian, dan tidak ada invisible
hand yang dapat mengatur keadilan dan kesejahteraan.
Ekonomi kerakyatan tidak
bermaksud mempertentangkan ekonomi besar dengan ekonomi kecil. Persoalan
ekonomi kerakyatan bukan mempertentangkan antara wong cilik dengan wong gedhe.
Ekonomi kerakyatan bukan bagaimana usaha kecil, menengah, dan usaha mikro dilindungi.
Ekonomi kerakyatan bukan ekonomi belas kasihan, bukan ekonomi penyantunan
kepada kelompok masyarakat yang kalah dalam persaingan. Tetapi ekonomi
kerakyatan adalah tatanan ekonomi dimana aset ekonomi dalam perekonomian
nasional didistribusian kepada sebanyak-banyaknya warga negara.
Secara definisi ekonomi kerakyatan adalah:
1.
Tata ekonomi yang dapat
memberikan jaminan pertumbuhan out put perekonomian suatu negara secara
mantap dan berkesinambungan, dan dapat memberikan jaminan keadilan bagi rakyat.
2.
Tata ekonomi yang dapat menjamin pertumbuhan out put secara
mantap atau tinggi adalah tata ekonomi yang sumber daya ekonominya digunakan
untuk memproduksi jasa dan barang pada tingkat pareto optimum. Tingkat pareto
optimum adalah tingkat penggunaan faktor-faktor produksi secara maksimal dan
tidak ada faktor produksi yang nganggur atau idle.
3.
Tata ekonomi yang dapat menjamin pareto optimum adalah tata
ekonomi yang mampu menciptakan penggunaan tenaga kerja secara penuh (full
employment) dan mampu menggunakan kapital atau modal secara penuh
4.
Tata ekonomi yang dapat memberikan jaminan keadilan bagi
rakyat adalah tata ekonomi yang pemilikan aset ekonomi nasional terdistribusi
secara baik kepada seluruh rakyat, sehingga sumber penerimaan (income) rakyat
tidak hanya dari penerimaan upah tenaga kerja, tetapi juga dari sewa modal dan
deviden.
Perlu digarisbawahi bahwa
ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah
kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar
khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan
benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program
operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di
tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal
bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik, tetapi
menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat
kecil, adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang
benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan
pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri. Aksi membagi-bagi uang secara
tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak
berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung
pada aksi dimaksud. Sebenarnya yang harus ada adalah kesempatan untuk
berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash
material. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha
kecil-menengah dan koperasi. Asumsi awal yang dianut adalah usaha
kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia
tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.
Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata
lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya
ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya
ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan
keberpihakan dimaksud.
Perberdayaan merupakan satu
istilah yang diterjemahkan dari istilah empowerment yang merupakan sebuah
konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pemikiran dan
kebudayaan masyarakat.
Pemberdayaan memiliki dua
kecendrungan yaitu kecendrungan primer dan kecenderungan sekunder. Kecendrungan
primer merupakan pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar
individu menjadi lebih berdaya, Kecenderungan sekunder, merupakan pemberdayaan
yang menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu
agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi
pilihan mereka.
Sementara itu dalam
terminoligi manajemen, pemberdayaan berkaitan dengan wewenang (authority) dan
kekuasaan (power). Pemberdayaan bertujuan menghapuskan hambatan-hambatan guna
membebaskan organisasi dan orang-orang yang bekerja di dalamnya, melepaskan mereka dari
halangan-halangan yang hanya memperlamban reaksi dan merintangi aksi mereka.
Sejauh ini terlihat bahwa
pemberdayaan yang dilakukan menekankan kecenderungan skunder yang menekankan
kepada proses menstimulasi, mendorong dan memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya.
Sementara itu pemeberdayaan
yang berkecenderungan primer masih jarang/kurang dilakukan dengan berbagai
macam alasan. Untuk ini ada 10 mitos
pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Karta sasmita (1996) :
1.
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pengembangan
material, rasional dan bertumpu pada pengembangan ekonomi masyarakat.
2.
Pemberdayaan masyarakat akan mudah diwujudkan melalui
pendekatan pembangunan dari atas dari pada pendekatan yang mengintegrasikan
aspirasi masyarakat.
3.
Pemberdayaan masyarakat lebih membutuhkan bantuan material.
4.
Pengetahuan dan Teknologi Internasional selalu lebih baik
daripada pengetahuan dan teknologi masyarakat lokal.
5.
Kelembagaan lokal selalu tidak mampu mewujudkan upaya
pemberdayaan masyarakat.
6.
Masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah tidak tahu apa
yang mereka inginkan.
7.
Kemiskinan lahir akibat kebodohan dan kemalasan anggota
masyarakat.
8.
Efisiensi adalah tujuan utama pembangunan dan tujuan alokasi
sumberdaya masyarakat.
9.
Sektor pertanian dan pedesaan adalah sektor inferior yang
tidak perlu diperioritaskan.
10.
Ketidak seimbangan dalam akses pemilikan/penguasaan
sumberdaya pembangunan merupakan syarat perlu untuk melakukan perubahan.
C.
Konsep
Pemberdayaan
Konsep
pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model
industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun
dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasan
terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan
faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang
pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk
memperkuat dan legitimasi; dan (4) kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum,
sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok
masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya.1 Akhirnya yang
terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang
dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan
pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the
powerless).
Pengalaman
empirik dan pengalaman historis dari format sosial ekonomi yang dikotomis ini
telah melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan. Pandangan pertama,
pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power to nobody. Pandangan ini
didasari oleh keyakinan, bahwa kekuasaan telah menterasingkan dan menghancurkan
manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi
manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan, maka
kekuasaan harus dihapuskan. Pandangan kedua, pemberdayaan adalah pembagian
kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini didasarkan
pada keyakinan, bahwa kekuasaan yang terpusat akan menimbulkan abuse dan
cenderung mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang
dikuasi. Oleh sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar
semua orang dapat mengaktualisasikan diri. Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah
penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah
pandangan yang paling moderat dari dua pandangan lainnya. Pandangan ini adalah
antitesis dari pandangan power to nobody dan pandangan power to everybody.
Menurut pandangan ini, Power to nobody adalah kemustahilan dan power to
everybody dalah chaos dan anarki. Oleh
sebab itu menurut pandangan ketiga, yang paling realis is adalah power to
powerless.
Ketiga
pandangan tersebut di atas, kalau dikaji secara seksama, ternyata berpengaruh
cukup signifikan dalam konsep dan praksis pemberdayaan. Di lapangan, paling
tidak ada 3 konsep pemberdayaan. Konsep pertama, pemberdayaan yang hanya
berkutat di ‘daun’ dan ‘ranting’ atau pemberdayaan konformis. Karena struktur
sosial, struktur ekonomi, dan struktur ekonomi sudah dianggap given, maka
pemberdayaan adalah usaha bagaimana masyarakat tunadaya harus menyesuaikan
dengan yang sudah given tersebut. Bentuk aksi dari konsep ini merubah sikap
mental masyarakat tunadaya dan pemberian santunan, seperti misalnya pemberian
bantuan modal, pembangunan prasarana pendidikan, dan sejenisnya. Konsep ini
sering disebut sebagai magical paradigm. Konsep kedua, pemberdayaan yang hanya
berkutat di ‘batang’ atau pemberdayaan reformis. Artinya, secara umum tatanan
sosial, ekonomi, politik dan budaya, sudah tidak ada masalah. Masalah ada pada
kebijakan operasional. Oleh sebab itu, pemberdayaan gaya ini adalah mengubah
dari top down menjadi bottom up, sambil mengembangkan sumberdaya manusianya,
menguatkan kelembagaannya, dan sejenisnya. Konsep ini sering disebut sebagai
naïve paradigm. Konsep ketiga, pemberdayaan yang hanya berkutat di ‘akar’ atau
pemberdayaan struktural. Karena tidakberdayanya masyarakat disebabkan oleh
struktur politik, ekonomi, dan sosial budaya, yang tidak memberi ruang bagi
masyarakat lemah untuk berbagi kuasa dalam bidang ekonomi, politik, dansosial
budaya, maka stuktur itu yang harus ditinjau kembali. Artinya, pemberdayaan
hanya dipahami sebagai penjungkirbalikan tatana yang sudah ada. Semua tatanan
dianggap salah dan oleh karenanya harus dihancurkan, seperti misalnya
memfasilitasi rakyat untuk melawan pemerintah, memprovokasi masyarakat miskin
untuk melawan orang kaya dan atau pengusaha, dan sejenisnya. Singkat kata,
konsep pemberdayaan masyarakat yang hanya berkutat pada akar adalah
penggulingan the powerful. Konsep ketiga ini sering disebut sebagai critical
paradigm. Oleh Pranarka dan Moelyarto (1996), karena kesalah-pahaman mengenai
pemberdayaan ini, maka menimbulkan pandangan yang salah, seperti bahwa
pemberdayaan adalah proses penghancuran kekuasaan, proses penghancuran negara,
dan proses penghancuran pemerintah.
Dari berbagai
pandangan mengenai konsep pemberdayaan, maka dapat disimpulkan, bahwa
pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan pemilikan faktor-faktor
produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat
untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk
memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan secara
multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, mapun aspek kebijakannya.
Karena persoalan atau isu strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal
spesifik dan problem spesifik, maka konsep dan operasional pemberdayaan ekonomi
masyarakat tidak dapat diformulasikan secara generik. Usaha memformulasikan
konsep, pendekatan, dan bentuk operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat
secara generik, memang penting, tetapi yang jauh lebih penting, adalah
pemahaman bersama secara jernih terhadap karakteristik permasalahan
ketidakberdayaan masyarakat di bidang ekonomi. Sebab dengan pemahaman yang
jernih mengenai ini, akan lebih produktif dalam memformulasikan konsep,
pendekatan, dan bentuk operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sesuai
dengan karakteristik permasalahan lokal. Berikut adalah salah satu contoh
problem spesifik yang dihadapi masyarakat tunadaya dalam bidang akses faktor
produksi modal.[2]
D.
Strategi Pemberdayaan
Ekonomi Kerakyatan
Pertama, demokrasi ekonomi
diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi atau konstruksi bangunan ekonomi agar terwujudnya
pengusaha menengah yang kuat dan besar
jumlahnya. Di sisi lain terbentuknya keterkaitan dan kemitraan yang paling menguntungkan
antara pelaku ekonomi yang meliputi usaha kecil, menengah dan koperasi, usaha
besar swasta dan badan usaha milik negara yang saling memperkuat untuk
mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi yang berdaya saing tinggi.
Kedua, kedaulatan ekonomi
harus tetap dihormati agar harkat, martabat dan citra ekonomi rakyat dapat disejajarkan
dengan ekonomi usaha besar swasta dan badan usaha milik negara, tanpa dijadikan
objek balas jasa atau belas kasihan. Dengan demikian kedaulatan ekonomi rakyat
harus benar-benar ditempatkan pada prioritas utama dalam kehidupan ekonomi,
sehingga peran dan partisipasi ekonomi rakyat selalu mendapatkan perhatian dan
kesempatan yang seluas-luasnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber
daya alam dan lainnya. Tujuannya agar pelaku ekonomi rakyat mampu profesional
dan memenuhi standardisasi global.
Ketiga, pilar ekonomi
diarahkan untuk merancang komitmen yang kuat antar-stakeholder dalam
mengoptimalkan sumber daya lokal untuk mendorong sekaligus menampung
partisipasi bagi kepentingan rakyat banyak. Hal ini dimaksudkan agar ekonomi
kerakyatan bisa menjadi tulang punggung perekonomian bangsa yang berbasis
sosial budaya. Dengan demikian rakyat banyak menjadi pemilik, pengelola dan
pengguna utama kekayaan dan aset ekonomi bangsa ini. Sehingga mereka mampu
menjadi penggerak ekonomi, dengan kata lain sebagai tuan/panglima ekonomi
bangsanya sendiri.
Keempat, benteng ekonomi
harus disusun melalui master plan ekonomi kerakyatan yang berbasis sosial
budaya dengan tetap memperhatikan keseimbangan pertumbuhan, pemerataan dan
keseimbangan stabilitas perekonomian rakyat dalam upaya mengatasi kesenjangan
ekonomi antara golongan kapitalis dan
nonkapitalis (golongan ekonomi lemah). Di samping itu sekaligus mampu
membentengi/memproteksi pergerakan ekonomi global yang mau tidak mau, suka
tidak suka sudah memasuki sistem dan tatanan perekonomian bangsa ini. Karena
itulah diperlukan nilai-nilai perjuangan/jiwa wirausaha sejati yang berbasiskan
kerakyatan.
Kelima, kemandirian ekonomi
diarahkan untuk bertumpu dan ditopang oleh kekuatan sumber daya internal yang
dikelola dalam suatu sistem ekonomi. Dengan kata lain kegiatan ekonomi
dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat dan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat, sehingga ekonomi bangsa ini tidak lagi tergantung pada
kekuatan-kekuatan ekonomi di luar ekonomi rakyat itu sendiri. Tentu diharapkan
peranan pemerintah (eksekutif), legislatif, dan yudikatif agar dapat memberikan
kemudahan, keringanan dan peluang seluas-luasnya baik dari akses modal, akses
pasar, teknologi, jaringan usaha dan keamanan dalam iklim usaha sebagai upaya
mempercepat kemandirian ekonomi rakyat.
Dalam upaya memberdayakan
masyarakat, dapat dilihatdari 3 sisi, yaitu : Pertama, menciptakan suasana atau
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik
tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya,
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya
untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi, membangkitkan kesadaran
akan potensi yang dimilikinya serta berupaya unutk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi
atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan
langkah-langkah yang lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan
suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut
penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai
peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Dalam
rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf
pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan
berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar
fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun social seperti sekolah dan
fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada
lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan,
dan pemasaran di pedesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya
amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakatyang kurang
berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh
lapisan masyarakat ini.
Pemberdayaan bukan hanya
meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatnya.
Menanamkan nilai-nilai budaya modern seprti kerja keras, hemat, keterbukaan,
dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini.
Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke
dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang
terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Jadi esensi
pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi
juga termasuk penguatan pranata-pranatanya.
Ketiga, memberdayakan
berarti pula melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah
menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang
kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan terhadap yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak
berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan
mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat
sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta
eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat
masyarakat menjadi tergantung pada berbagai program pemberian (charity).
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak
dijadikan obyek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek dari
upaya pembangunannya sendiri.
E.
Langkah-Langkah Strategis
Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan
Peranan koperasi di masa
depan menjadi kian strategis dengan makin pulihnya kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga yang memiliki motto dari anggota, oleh anggota dan untuk
anggota ini. Meski citra koperasi sempat turun, namun image negatif masa lalu
hendaknya jangan dijadikan alasan untuk melemahkan kehidupan berkoperasi.
Sebab, lembaga keuangan koperasi yang kokoh akan dapat menjangkau kebutuhan
anggotanya dalam membangun ekonomi yang kuat untuk mensejahterakan anggotanya.
Koperasi sangat sesuai
dengan semangat gerakan perekonomian rakyat. Sesuai amanat UUD, koperasi
merupakan salah satu unit usaha yang direkomendasikan. Koperasi berlandaskan
kekeluargaan dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Memang dalam
kenyataan banyak koperasi kolaps, ditinggalkan anggotanya karena berbagai sebab
di antaranya perilaku pengurus koperasi banyak yang menyimpang dalam mengelola
koperasi.
(Ign.Sukamdiyo : 2002 : 135)
Lembaga Koperasi memang harus dikembangkan dengan alasan-alasan sebagai berikut
:
1.
Adanya kepmapuan yang luwes dari dari koperasi dalam
menampung peranan anggota yang mempunyai kepentingan dan bentuk usaha yang
beragam.
2.
Koperasi meruipakan sarana bersama guna memudahkan pembinaan
dari instnasi-instansi terkait.
3.
Koperasi dapat berfungsi sebagai lembaga pendidikan untuk
berorganisasi ekonomi bagi kelompok lemah dan miskin secara merata.
(Tiktik Sartika Partomo dan
Abd. Rachman Soejoedono : 2002:13) Beberapa keunggulan UKM terhadap usha besar
antara lain dalah sebagai berikut :
1.
Inovasi dalam teknologi yang telah dengan mudah terjadi dalam
pengembangan produk.
2.
Hubungan kemanusiaan yang akrab di dalam perusahaan kecil.
3.
Kemampuan menciptakan kesempatan kerja cukup banyak atau
penyerapannya terhadap tenaga kerja
4.
Fleksibelitas dan kemampuan menyesuaikan diri terhadap
kondisi pasar yang berubah dengan cepat disbanding dengan perusahaan skala
besar yang pada umumnya birokratis.
5.
Terdapatnya dinamisme manajerial dan peranan kewiraushaan
Salah satu kelemahan usaha kecil ialah tidak pernah memprediksi
perkembangan harga menyangkut produksi, alat-alat produksi dan sebagainya.
Mereka masih berpatokan pada pengalaman masa lalu. Akibatnya, aktivitas
perekonomian menjadi tersendat.
Menanggapai pola pengembangan
yang telah diuraikan sebelumnya ternyata terjadi banyak kelemahan terutama
"kebiasaan buruk" dengan ganti pimpinan ganti kebijakan, maka secara
makro kiranya solusi yang direkomendasikan untuk menjadi pertimbangan ialah :
1.
Penegasan UUD 45' tentang ekonomi kerakyatan
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai acuan ekonomi
Indonesia, tentunya ekonomi kerakyatan sebagai system perekonomian Indonesia
memiliki ciri-ciri positif diantaranya :
a.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas
kekeluargaan (pasal 33 UUD 45)
b.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara (pasal 33 UUd 45)
c.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan diperhgunakan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat
(pasal 33 UUD 1945)
d.
Dalam Pasal 33 UUD 45 tersebut terkandung cita-cita bangsa,
tujuan membangun asas perekonomian dan tata cara menyususn perekonomian bangsa.
Pemerintah bersama warga negaranya berkewajiban menjalankan usaha melaksanakan
ketetapan danam UUD 45 agar cita-cita luhur dapat dicapai dengan baik dalam
waktu yang tidak terlalu lama.
2.
Penekanan secara Politis
Kurang berperannya koperasi
selama ini disebabkan lemahnya insan-insan politik memosisikan koperasi sebagai
saka guru perekonomian, Lemahnya lobi dan negosiasi itu berimplikasi terhadap
setiap kebijakan politik ekonomi. Akibatnya, koperasi pada usianya yang ke-56
masih tetap sebagai objek penderita, bukan aktor pembangunan ekonomi seperti
yang diamanatkan UUD 1945,
3.
Harus adanya kebijakan yang bersifat struktural
Kebijakan yang bersifat
struktural melalui peraturan perundangan sangat dibutuhkan untuk pengembangan
usaha mikro, kecil, dan menengah (UKMK) memungkinkan kalangan pengusaha UMKM
ini untuk berusaha atau berproduksi seluas-luasnya. ''Bahkan bisa memasarkan
hasil-hasil produksi dan jasanya itu secara mudah
Dengan begitu, lanjutnya,
hambatan-hambatan yang ada akan terus dapat dikurangi oleh pemerintah, baik
dalam kerangka tataran atau kerangka instrumental dengan melakukan penyesauain
terhadap peraturan yang ada maupun dalam kerangka praktis. ''Melalui
keppres-keppres atau peraturan-peraturan daerah. insan koperasi harus mampu
menekan para politisi untuk membuat kebijakan yang jelas terhadap perkembangan
koperasi. "Tanpa adanya tekanan-tekanan terhadap politisi, maka politisi
lebih banyak 'main-main' sendiri dengan berbagai muatan yang dibawa.
4.
Revitalisasi Koperasi
Revitalisasi koperasi
sebagai Solusi Mengatasi Pengangguran dan Kemiskinan sangat relevan, mengingat
Koperasi merupakan pelaku usaha yang potensial untuk menciptakan pendapatan dan
perluasan kesempatan kerja, yang pada gilirannya dapat mengurangi angka
kemiskinan.sehingga pemerintahan pun harus sejalan dengan apa yang merupakan
kehedank masayarkat dalam pengembangan koperasi yaitu bertujuan mengatasi
masalah pengangguran dan kemiskinan. Usaha Koperasi umumnya padat dengan
penggunaan bahan-bahan lokal namun dalam pengembangannya, prakarsa masyarakat
merupakan hal yang paling utama.
5.
Pemberian bantuan langsung kepada masyarakat berupa program
pemeberdayaan Koperasi dan UKM.
Pada umumnya permodalan
Koperasi dan UMKM masih lemah, sehingga perlu adanya strategi pembinaan dan
pengembangan di bidang permodalan termasuk bagaimana pemerintah dan masyarakat
melaksanakan konsep permodalan untuk membantu Koperasi dan UMKMK tersebut.
Ada banyak alternative
membantu permodalan dan pengembangan KUKM di Indonesia selain pada masa
sebelumnya sduah dikembangkan pemberian kredit lunak dari sebagian laba BUMN
untuk dilakukan program permodalam dan kemitraan Usaha kecil, kini industri
perbankan pun harus memiliki kelonggaran dalam menyalurkan kredit pada Koperasi
usaha kecil dan Memengah ini.
Sementara secara mikro,
dengan mengkaji kisah sukses dari berbagai koperasi dan UMKM, terutama di
Indonesia, kiranya dapat disarikan beberapa faktor kunci yang urgent dalam
pengembangan dan pemberdayaan koperasi dan UMKM. Diantara faktor penting
tersebut, antara lain:
1.
Pemahaman pengurus dan anggota akan jati diri koperasi
(co-operative identity) yang merupakan entry point dan sekaligus juga crucial
point dalam mengimplementasikan jati diri tersebut pada segala aktifitas
koperasi dan usaha kecil menengah. Sebagai catatan tambahan, aparatur
pemerintah terutama departemen yang membidangi masalah koperasi dan UMKM perlu
pula untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai perkoperasian, sehingga
komentar yang dilontarkan oleh pejabat tidak terkesan kurang memahami akar
persoalan koperasi.
2.
Dalam menjalankan usahanya, pengurus koperasi dan pelaku UMKM
harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya dan masayakarat
konsumen (collective need of the member) dan memenuhi kebutuhan tersebut.
Proses untuk menemukan kebutuhan kolektif anggota sifatnya kondisional dan
lokal spesifik. Dengan mempertimbangkan aspirasi anggota-anggotanya, sangat
dimungkinkan kebutuhan kolektif setiap koperasi berbeda-beda. Misalnya di suatu
kawasan sentra produksi komoditas pertanian (buah-buahan) bisa saja didirikan
koperasi. Kehadiran lembaga koperasi yang didirikan oleh dan untuk anggota akan
memperlancar proses produksinya, misalnya dengan menyediakan input produksi,
memberikan bimbingan teknis produksi, pembukuan usaha, pengemasan dan pemasaran
produk.
3.
Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola
koperasi dan UMKM. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya
dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan.
4.
Kegiatan (usaha) koperasi dan UMKM bersinergi dengan
aktifitas usaha anggotanya.
5.
Adanya efektifitas biaya transaksi antara koperasi dengan
anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya
transaksi yang dibebankan oleh lembaga non-koperasi.
F.
Permasalahan Dalam Ekonomi
Kerakyatan
Persoalan pokok yang
dihadapi dalam perekonomian Indonesia saat ini adalah pemilikan aset ekonomi
oleh sebagian besar rakyat yang sangat
sangat kecil, sedang sebagian kecil rakyat menguasai aset ekonomi yang
sangat besar. Inilah yang menyebabkan pasar atau tangan Tuhan tidak berjalan
sebagaimana mestinya, yang menyebabkan perekonomian nasional tidak efisien,
yang menyebabkan trickle down effect tidak berjalan, dan yang menyebabkan
kemiskinan secara masip.
Problem kedua adalah problem
di ekonomi barang publik atau ekonomi publik yang dijalankan pemerintah.
Keputusan jenis barang publik dan jasa publik adalah keputusan politik. Karena
lemahnya sebagian besar rakyat di bidang ekonomi, maka posis tawar dalam
kebijakan politik juga lemah (ini fakta empirik). Akibatnya, barang publik dan
jasa publik yang diproduksi pemerintah tidak sesuai dengan aspirasi sebagian
besar rakyat. Barang publik dan jasa publik yang diproduksi pemerintah adalah
barang publik dan jasa publik yang tidak menguntungkan bagi sebagian besar
rakyat, tetapi menguntungkan sebagian kecil rakyat.
Problem yang ketiga adalah
problem di kebijakan publik. Seperti disebut dimuka, bahwa pemerintah memiliki
tiga kewenangan dalam perekonomian, yaitu kewenangan atau fungsi alokasi,
fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Karena sebagian besar rakyat tidak
memiliki kekuatan untuk mengontrol dan tidak memiliki akses dalam proses
pengambilan keputusan publik, maka fungsi alokasi dan fungsi distribusi ini
tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Bertolak dari tiga persoalan
besar tersebut, maka ruh dari ekonomi kerakyatan adalah: bagaimana pemerintah
dapat menjalankan fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi
(atau bagaimana kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan di sektor
riil dijalankan), sehingga distribusi aset ekonomi kepada sebagian besar rakyat
dapat terjadi tanpa mendistorsi pasar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah
Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan
rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada
ekonomi rakyat. Sedangkan menurut Pasal
33 UUD 1945, ekonomi kerakyatan adalah sebuah sistem perekonomian yang
ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi.
Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
adalah :
1. Membangun
Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan
berkepribadian yang berkebudayaan
2. Mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
3. Mendorong
pemerataan pendapatan rakyat
4. Meningkatkan
efisiensi perekonomian secara nasional
Strategi Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan
1.
demokrasi ekonomi diarahkan untuk menciptakan
struktur ekonomi atau konstruksi
bangunan ekonomi agar terwujudnya pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya.
2.
kedaulatan ekonomi harus tetap dihormati agar
harkat, martabat dan citra ekonomi rakyat dapat disejajarkan dengan ekonomi
usaha besar swasta dan badan usaha milik negara, tanpa dijadikan objek balas
jasa atau belas kasihan.
3.
pilar ekonomi diarahkan untuk merancang komitmen
yang kuat antar-stakeholder dalam mengoptimalkan sumber daya lokal untuk
mendorong sekaligus menampung partisipasi bagi kepentingan rakyat banyak.
4.
benteng ekonomi harus disusun melalui master
plan ekonomi kerakyatan yang berbasis sosial budaya dengan tetap memperhatikan
keseimbangan pertumbuhan, pemerataan dan keseimbangan stabilitas perekonomian
rakyat dalam upaya mengatasi kesenjangan ekonomi antara golongan kapitalis
dan nonkapitalis (golongan ekonomi
lemah).
5.
kemandirian ekonomi diarahkan untuk bertumpu dan
ditopang oleh kekuatan sumber daya internal yang dikelola dalam suatu sistem
ekonomi.
B.
Saran
Adapun saran yang dapat penulis
sampaikan adalah semoga makalah ini dapat menjadi penambah referensi tentang
konsep pemberdayaan ekonomi rakyat bagi pembaca, kemudian kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Mardi Yatmo Hutomo, 2000 Naskah No. 20,
Juni-Juli Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ekonomi: Tinjauan Teoritik dan
Implementasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar