.::Selamat datang di djamilawaludin.blogspot.co.id semoga sehat dan sukses selalu::.

Kamis, 22 Mei 2014

Kebijakan Hukum Pidana


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Later Belakang
Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan terciptanya ketertipan dalam bermasyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.dalam mencapai tujuan itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat mengatur wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum dan memelihara kepastian hukum.
Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia itu sendiri.sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tak terhitung jumlah dan jenisnya. Disamping itu kepentingan manusia akan berkembang sepanjang masa.
Belakangan ini, muncul penilaian dari banyak anggota masyarakat tentang  lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, termasuk juga dalam praktik penegakan hukumnya (law enforcement), tetapi bahkan formulasi  substansi hukumnya (legal substance)  pun banyak yang tidak mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila, seperti:  ketuhanan, keadilan, kepatutan, keselarasan (harmoni), persatuan, perdamaain, kemanusiaan (humanisme), dan gotong-royong.
          Pada aras substansi hukum (legal substance) pidananya, masih dipakainya KUHP (ex. WvS) yang notabene buatan Pemerintah kolonial Belanda dan dengan sendirinya berspirit kolonialisme, liberalism, dan individualism, dan sudah uzur (1 abad) yang tentu saja tidak dapat lagi menampung perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya masyarakat, sehingga terpaksa membuat ketentuan perundang-undangan pidana di luar KUHP yang sangat banyak.
           Pada tataran penegakan hukum (law enforcement),  kita menyaksikan drama-drama penegakan hukum yang sangat mengenaskan dan mencabik-cabik rasa keadilan dan harga diri (beberapa contoh akan dijelaskan kemudian).  Ke dua fenomena di atas jelas menggelisahkan kita semua, berkaitan dengan masa depan hukum dan penegakannya di bumi Indonesia.
         Berikut ini akan dipaparkan tentang kebijakan hukum pidana di Indonesia..

B.     Rumusan masalah
Rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah bagaimana suatu hukum yang melindungi kepentingan manusia yang akan dijabarkan melalui sudut pandang suatu kebijakan yang mengatur hukum pidana.

C.    Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Mahasiswa dapat memahami apa itu kebijakan hukum pidana
2.      Mahasiswa dapat menilai apakah kebijakan hukum pidana yang diterapkan diindonesi sudah berjalan seperti yang diinginkan
3.      Sebgai tugas perkuliahan


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidanan
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, criminal law policy, atau strafrechtspolitiek.

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.
Menurut Prof. Sudarto, Politik Hukum, adalah:
1.      Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
2.      Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mesyarakat dan untuk menvapai apa yang dicita-citakan.

Bertolak dari penegrtian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Dalam kesemptan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy”, Mars Ancel yang telah dikemukakan pada uraian yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. Dengan demikian yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Mars Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah “penal policy” menurut Mars Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”

Menurut A. Mulder, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan:

1.      seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaruhi,
2.      apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana,
3.      cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut Mars Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang teroganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:
1.      peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya,
2.      suatu prosedur hukum pidana, dan
3.      suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian adri politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

Di samping itu usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatn undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (socisl welfare). Oleh karena itu wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan dan sekali gus mencakup perlindunagn masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”.

B.     Masalah Pembaharauan Hukum Pidana
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urdensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofis, sosio kultural atau dari berbagai aspek kenijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatar-belakangi itu. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio filosofis, sosio-kulturan masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekali gus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, pilitik hukum pidana, politik kriminal, politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.

Dengan uaraian di atas dapat disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:
1.      Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan:
a.       Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya),
b.      Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan),
c.       Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari uapaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hokum
2.      Dilihat dari sudut pendekatan-nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (re-oriented dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).

C.    Pendekatan Kebijakan Dan Kebijakan Nilai
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah:
1.      perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2.      sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Pendekatan demikian terlihat pula misalnya pada tulisan Satjipto Rahardjo yang berjudul “Pembangunan Hukum yang Diarahkan kepada Tujuan Nasional”. Dikemukakan oleh Satjipto Raharjo bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan susudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil dalam kedua masalah tersebut dan pengimplementasiannya ke dalam sistem hukum masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka keputusan demikian harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan struktur hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.

Bertolak dari pendekatan itu pula, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
1.      Pembangunan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2.      Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat,
3.      Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle),
4.      Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overvelasting)

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut:

"Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat."

Khususnya mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi, laporan simposium itu antara lain menyatakan: untuk menetapkan suatau perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan kreteria umum sebagai berikut :

1.      Apa perbuatan itu tidak disukai atau benci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban
2.      Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta bebanyang dipukul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
3.      Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki.
4.      Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.

Di samping kreteria umum di atas, Simposium memandang perlu pula untuk memperhatikan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu, dengan melakukan penelitian,khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial.
Demikian pula menurut Bassiouni, keputusan untuk melakuakan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk;
1.      keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai;
2.      analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari;
3.      penelitian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
4.      pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.

Selanjutnya dikemukakan bahwa problem dari pendekatan yang beroreantasi pada kebujakan adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Namun demikian, pendekatan yang beroreantasi pada kebijakan ini menurut Bassiouni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan dengan penilaian emisional (the emosionally laden value judgment approach) oleh kebanyakan badan-badan legislatif. Dikemukakan pula bahwa perkembangan darai “a policy oriented approach” ini lamban datangnya, karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Masalahnya antara lain terletak pada sumber-sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah itu. Kelambanan yang demikian ditambah dengan proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem,mengakibatkan timbulnya:
a.       krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of      over-criminalization), dan
b.      Krisis kelamopauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law).

Yang pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenal usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi yang efektif.
Pendekatan kebijakan seperti dikemukakan di atas jelas merupakan pendekatan yanag rasional, karena karakteristisk dari suatu politik kriminal yang rasional tidak lain daripada penerapan metode-metode yang rasional. Menurut G.P. Hoefnagels suatu politik kriminal harus rasional; kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai “a rational total of the responses to crime”. Disamping itu, hal ini penting karena konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara emosional.

Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti dikatakan oleh Sudarto, dalam melaksanakan politik (kebijakan, pen.) orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Ini berarti memilih dan dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya.

Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional; dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada kebijakan yang rasional. Salah satu kesimpulan dari Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 di Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence. Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional, seperti dikemukakan oleh Johannes Andenaes sebagai berikut:

"Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat/social defence, maka tugas selanjutnya adalah mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum harus dicapai dengan biaya yang menimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan bagi individu. Dalam tugas demikian, orang harus mengandalkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari bermacam-macam sanksi."

Dari apa yang dikemukakan J. Andenaes di atas jelas terlihat bahwa pendekatan kebijakan yang rasional erat pula hubungannya dengan pendekatan ekonomis. Dengan pendekatan ekonomis di sini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan dibuat dan digunakannya hukum pidana) dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas berpendapat, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrenta) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       pidana itu sungguh-sungguh mencegah;
b.      pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;
c.       tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil.

Segi lain yang perlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan ialah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni, ialah:
1.      Pemeliharaan tertib masyarakat,
2.      Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain,
3.      Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum,
4.      Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.

Ditegaskan selanjutnya bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. Pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat; pidana yang tidak diperlukan tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu batas-batas sanksi pidana ditetapkan pula berdasar kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai yang mewujudkannya. Berdasarkan pandangan yang demikian, maka menurut Bassiouni disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but aiso value-based and value-oriented).

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa menurut Bassiouni, dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgment approach). Antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu “dichotomy”, karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Sehubungan dengan hal ini Roeslan Saleh menanyakan :

Keharusan rasionalitas itu bukanlah berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan etis dalam hukum pidana dapat ditinggalkan saja. Juga syarat rasional adalah suatu syarat moral (Wilkins, Morris, dan Howard). Jadi rasionalitas jangan sampai dikaburkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat etis. Batas-batas bersifat etis itu haruslah sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya dirumuskan. Di dalam batas-batas dari apa yang secara etis dapat diterima haruslah diambil keputusan-keputusan yang rasional itu.

Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai karena seperti dikatakan oleh Christiansen, “the conception of prblem crime and punishment is an essential part of the culture of any society”. Begitu pula menurut W. Clifford, “the very foundation of any criminal justice system consists of the phylosophy behind a given country”. Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk manuasia seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.

Pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradap; tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Sehubungan dengan hal terakhir ini patut kiranya dikemukakan konsepsi kebujakan pidana dari aliran social defence (the penal policy of social defence) menurut Marc Ancel yang bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi. Hal ini kami anggap perlu dikemukakan karena istilah perlindungan masyarakat atau social defence yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi sudah sering dugunakan di indonesia. Hal ini terlihat misalnya pada Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 dan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana pada tahun 1980 di Semarang.

Menurut Marc Ancel, pertanggungjawaban yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak yang utama dari proses penyesuaian- social (the main driving force of the process of social readaption). Diakui olehnya bahwa masalah determinisme dan indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada di luar lingkup kebijakan pidana dan hukum pidana. Akan tetapi ditegaskan bahwa kebijakan pidana yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan individu. Tujuan utama setiap perlakuan readaptasi-sosial harus diarahkan pada perbaikan terhadap penguasaan diri sendiri. Oleh karena itu masalah pertanggungjawaban (“kesalahan”,pen.) seharusnya tidak boleh diabaikan; malah justru diperkenalkan kembali sebagai suatu pertanggungjawaban pribadi (“kesalahan individual”, pen.). Reaksi terhadap perbuatan anti-sosial justru harus dipusatkan pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi ini. Pertanggungjawaban yang dimaksud oleh Marc Ancel  berlainan dengan pandangan klasik yang mengartikannya sebagai pertanggungjawaban moral secara murni (the purely moral responsibility), dan berbeda pula dengan pandangan posotivist yang mengartikannya sebagai pertanggungjawaban menurut hukum atau pertanggung jawaban objektif (legal or objective view of responsibility) .

Pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) menurut Marc Ancel menekankan pada perasaan kewajiban moral pada diri individu dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang ide tanggung jawab atau kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga mendorongnya untuk menyadari moralitas sosial. Pengertian yang demikian merupakan konsekuensi dari pandangan Marc Ancel yang melihat kejahatan sebagai suatu manifestasi dari kepribadian si pelaku.

Dari uraian di atas terlihat, bahwa pendekatan nilai humanistik menuntut pula diperhatikannya ide “individualisasi pidana” dalam kebijakan/pembaharuan hukum pidana. Ide individualisasi pada pidana ini antara lain mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut :
a.       pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/per- orangan (asas personal);
b.      pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas: “tiada pidana tanpa kesalahan”);
c.       pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat-ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

D.    Upaya Non-Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah”politik Kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
1.      penerapan hukum pidana (criminal law application),
2.      pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan
3.      mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/ mass media).

Dengan demikian uapaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahat an terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitik beratkan pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.

Posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai “The Prevention of crime and Treatment of Offenders” sebagai berikut:

1.      Pada Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 di Caracas, Venezuela antara lain dinyatakan di dalam pertimbangan resolusi mengenai “Crime trend and crime prevention strategies” sebagai berikut:
Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang,Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan,bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk.

2.      Pada Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan, Italia, antara lain ditegaskan di dalam dokumen A/CONF. 121/L/9 (mengenai “Crime prevention in the context of development), bahwa:

Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom.

3.      ada Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 di Havana, Cuba, antara lain ditegaskan di dalam dokumen A/CONF. 144/L/17 (mengenai “Social aspects og crime prevention and criminal justice in the context of development”), sebagai berikut:

Bahwa aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam pencapaian sasaran strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dan konteks pembangunan dan harus diberikan prioritas paling utama. Aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya dalam masalah “Urban crime”), antara lain : Kemiskinan,pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi,Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial, Mengendornya ikatan sosial dan keluarga,Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain,Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan,Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan / bertetangga,Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya,Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas,Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat-bius dan penadahan barang-barang curian,Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran (intoleransi).

Perlunya sarana non-penal diintensifkan dan diefektifkan, di samping beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas, juga karena masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal. Seberapa jauh pengaruh sarana penal dalam penanggulangan kejahatan, ada beberapa pendapat dan hasil penelitian berikut ini patut mendapat perhatian:
a.       Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan,
b.      Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan disuatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecendrungan-kecendrungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat,
c.       Johanness Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan-tindakan kiat,


E.     Contoh Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan Hukum Pidana Yang Tertuang Dalam Undang- Undang Narkotika (Uu No. 35/2009 ) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika.
Mengingat betapa besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, maka perlu diingat beberapa dasar hukum yang diterapkan menghadapi pelaku tindak pidana narkotika berikut ini:
a.       Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
b.      Undang-undang RI No. 7 tahun 1997 tentang PengesahanUnited Nation Convention Against Illicit Traffic in Naarcotic Drug and Pshychotriphic Suybstances 19 88 ( Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotrapika, 1988)
c.       Undang-undang  RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti UU RI No. 22 tahun 1997.
Penyelenggaraan  acara pidana (khususnya untuk tindak pidana umum)  didasarkan pada Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang  populer dengan sebutan KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman, dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai pelengkap. KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman itu memuat asas-asas yang harus diwujudkan dalam penyelenggaraan acara pidana, khususnya oleh jajaran aparat penegak hukum (official criminal justice system). Asas-asas dimaksud antara lain:

a.       Peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan
b.      Presumption of innocence(Praduga tak bersalah)
c.       Oportunitas
d.      Pemeriksaan terbuka untuk umum
e.       Semua orang diperlakukan sama di depan hakim
f.       Tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum
g.      Akusatoir dan
h.      Pemeriksaan oleh hakim secara langsung dan lisan.

            Dengan penyebutan berbeda, Yahya Harahap, mengemukakan landasan asas atau prinsip sebagai dasar patokan hukum yang melandasi KUHAP dalam penegakan hukum, yang merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP, juga berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP. Landasan asas atau prinsip itu antara lain: [52]  

a.   Asas Legalitas
b.   Asas Keseimbangan
c.   Asas Praduga tak bersalah
d.   Prinsip Pembatasan penahanan
e.   Asas Ganti rugi dan rehabilitasi
f.    Penggabungan pidana dengan tuntutan ganti rugi
g.   Asas Unifikasi
h.   Prinsip Diferensiasi fungsional
i.    Prinsip Saling koordinasi;
j.    Asas Peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dan
k.   Prinsip Peradilan terbuka untuk umum.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan terciptanya ketertipan dalam bermasyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.dalam mencapai tujuan itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat mengatur wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum dan memelihara kepastian hukum.
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian adri politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.


B.     Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah semoga dalam penulisan makalah ini dapat bermanfaat dan dapat difungsikan sebagai referensi tambahan bagi pembacanya.

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar