BAB I
PENDAHULUAN
A.
Later
Belakang
Dalam fungsinya
sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sasaran
yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan
terciptanya ketertipan dalam bermasyarakat diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi.dalam mencapai tujuan itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban
antar perorangan di dalam masyarakat mengatur wewenang dan mengatur cara memecahkan
masalah hukum dan memelihara kepastian hukum.
Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan
manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia itu sendiri.sedangkan kepentingan
manusia sangatlah banyak dan tak terhitung jumlah dan jenisnya. Disamping itu
kepentingan manusia akan berkembang sepanjang masa.
Belakangan ini, muncul penilaian dari
banyak anggota masyarakat tentang
lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat, termasuk juga dalam praktik penegakan hukumnya
(law enforcement), tetapi bahkan formulasi
substansi hukumnya (legal substance)
pun banyak yang tidak mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila, seperti: ketuhanan, keadilan, kepatutan, keselarasan
(harmoni), persatuan, perdamaain, kemanusiaan (humanisme), dan gotong-royong.
Pada aras substansi hukum (legal substance) pidananya, masih dipakainya
KUHP (ex. WvS) yang notabene buatan Pemerintah kolonial Belanda dan dengan
sendirinya berspirit kolonialisme, liberalism, dan individualism, dan sudah
uzur (1 abad) yang tentu saja tidak dapat lagi menampung perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan budaya masyarakat, sehingga terpaksa membuat
ketentuan perundang-undangan pidana di luar KUHP yang sangat banyak.
Pada tataran penegakan hukum (law enforcement), kita menyaksikan drama-drama penegakan hukum
yang sangat mengenaskan dan mencabik-cabik rasa keadilan dan harga diri
(beberapa contoh akan dijelaskan kemudian).
Ke dua fenomena di atas jelas menggelisahkan kita semua, berkaitan
dengan masa depan hukum dan penegakannya di bumi Indonesia.
Berikut ini akan dipaparkan tentang kebijakan hukum pidana di
Indonesia..
B.
Rumusan
masalah
Rumusan masalah
dari penulisan makalah ini adalah bagaimana suatu hukum yang melindungi kepentingan
manusia yang akan dijabarkan melalui sudut pandang suatu kebijakan yang
mengatur hukum pidana.
C.
Tujuan
penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini,
yaitu:
1. Mahasiswa
dapat memahami apa itu kebijakan hukum pidana
2. Mahasiswa
dapat menilai apakah kebijakan hukum pidana yang diterapkan diindonesi sudah
berjalan seperti yang diinginkan
3. Sebgai
tugas perkuliahan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidanan
Istilah
“kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau
“politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah
“kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum
pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering
dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, criminal law
policy, atau strafrechtspolitiek.
Pengertian
kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun
dari politik kriminal.
Menurut Prof. Sudarto, Politik Hukum,
adalah:
1. Usaha
untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan
dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam mesyarakat dan untuk menvapai apa
yang dicita-citakan.
Bertolak dari
penegrtian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan
“politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan
pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Dalam
kesemptan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana”
berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang.
Dengan demikian,
dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung
arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam
definisi “penal policy”, Mars Ancel yang telah dikemukakan pada uraian yang
secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang
bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik”. Dengan demikian yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the
positive rules) dalam definisi Mars Ancel itu jelas adalah peraturan
perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah “penal policy” menurut
Mars Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”
Menurut A.
Mulder, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan:
1. seberapa
jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaruhi,
2. apa
yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana,
3. cara
bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.
Definisi Mulder
di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut Mars Ancel yang
menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang teroganisir memiliki sistem hukum pidana
yang terdiri dari:
1. peraturan-peraturan
hukum pidana dan sanksinya,
2. suatu
prosedur hukum pidana, dan
3. suatu
mekanisme pelaksanaan (pidana).
Usaha dan
kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak
dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau
politik hukum pidana juga merupakan bagian adri politik kriminal. Dengan
perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik
dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.
Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh
karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana
merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).
Di samping itu
usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatn undang-undang (hukum) pidana pada
hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat
(socisl welfare). Oleh karena itu wajar pulalah apabila kebijakan atau politik
hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial
(social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai
segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan dan
sekali gus mencakup perlindunagn masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social
policy” sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social
defence policy”.
B.
Masalah
Pembaharauan Hukum Pidana
Pembaharuan
hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum
pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan
erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu
sendiri. Latar belakang dan urdensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat
ditinjau dari aspek sosio-politik, sosio-filosofis, sosio kultural atau dari
berbagai aspek kenijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan
kebijakan penegakan hukum). Ini berarti makna dan hakikat pembaharuan hukum
pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaharuan
hukum pidana juga pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan
pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatar-belakangi itu.
Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung mengandung
makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang
sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio filosofis,
sosio-kulturan masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan
kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah
dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan
sekali gus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).
Pembaharuan
hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada
hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy
(yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, pilitik hukum pidana, politik
kriminal, politik sosial). Di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula
pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula
berorientasi pada pendekatan nilai.
Dengan uaraian
di atas dapat disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana sebagai
berikut:
1. Dilihat
dari sudut pendekatan-kebijakan:
a. Sebagai
bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk
masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional
(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya),
b. Sebagai
bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penanggulangan kejahatan),
c. Sebagai
bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari uapaya memperbaharui substansi hukum (legal substance)
dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hokum
2. Dilihat
dari sudut pendekatan-nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan
upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (re-oriented dan re-evaluasi)
nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural yang melandasi
dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang
dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila
orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama
saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama
atau WvS).
C.
Pendekatan
Kebijakan Dan Kebijakan Nilai
Dua masalah
sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana)
adalah:
1. perbuatan
apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. sanksi
apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan
terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral
antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan
nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah
ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan
dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah
barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang
hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Pendekatan
demikian terlihat pula misalnya pada tulisan Satjipto Rahardjo yang berjudul
“Pembangunan Hukum yang Diarahkan kepada Tujuan Nasional”. Dikemukakan oleh
Satjipto Raharjo bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan
susudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil
dalam kedua masalah tersebut dan pengimplementasiannya ke dalam sistem hukum
masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17
Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka
keputusan demikian harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan struktur
hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.
Bertolak dari
pendekatan itu pula, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral
yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus
diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
1. Pembangunan
hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan
Pancasila. Sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan
yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus
merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan
kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat,
3. Penggunaan
hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and
benefit principle),
4. Penggunaan
hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas
(overvelasting)
Pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu
laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut:
"Masalah kriminalisasi dan
dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal
yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan
oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat."
Khususnya
mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi, laporan simposium itu
antara lain menyatakan: untuk menetapkan suatau perbuatan itu sebagai tindak
kriminal, perlu memperhatikan kreteria umum sebagai berikut :
1. Apa
perbuatan itu tidak disukai atau benci oleh masyarakat karena merugikan, atau
dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban
2. Apakah
biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya
cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta bebanyang
dipukul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang
dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
3. Apakah
akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau
nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki.
4. Apakah
perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga
merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Di samping
kreteria umum di atas, Simposium memandang perlu pula untuk memperhatikan sikap
dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu,
dengan melakukan penelitian,khususnya yang berhubungan dengan kemajuan
teknologi dan perubahan sosial.
Demikian pula menurut Bassiouni, keputusan
untuk melakuakan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada
faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor,
termasuk;
1. keseimbangan
sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin
dicapai;
2. analisis
biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan
tujuan-tujuan yang dicari;
3. penelitian
atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan
prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
4. pengaruh
sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau
dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.
Selanjutnya
dikemukakan bahwa problem dari pendekatan yang beroreantasi pada kebujakan
adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak
memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subyektif, misalnya
nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Namun demikian, pendekatan
yang beroreantasi pada kebijakan ini menurut Bassiouni seharusnya
dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai
alternatif dari pendekatan dengan penilaian emisional (the emosionally laden
value judgment approach) oleh kebanyakan badan-badan legislatif. Dikemukakan
pula bahwa perkembangan darai “a policy oriented approach” ini lamban
datangnya, karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian.
Masalahnya antara lain terletak pada sumber-sumber keuangan untuk melakukan
orientasi ilmiah itu. Kelambanan yang demikian ditambah dengan proses
kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya
terhadap keseluruhan sistem,mengakibatkan timbulnya:
a. krisis
kelebihan kriminalisasi (the crisis of
over-criminalization), dan
b. Krisis
kelamopauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal
law).
Yang pertama
mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan
yang dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenal usaha pengendalian perbuatan
dengan tidak menggunakan sanksi yang efektif.
Pendekatan kebijakan seperti dikemukakan di
atas jelas merupakan pendekatan yanag rasional, karena karakteristisk dari
suatu politik kriminal yang rasional tidak lain daripada penerapan
metode-metode yang rasional. Menurut G.P. Hoefnagels suatu politik kriminal
harus rasional; kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai “a
rational total of the responses to crime”. Disamping itu, hal ini penting
karena konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan atau proses untuk melakukan
kriminalisasi sering ditetapkan secara emosional.
Pendekatan yang
rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap
langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti
dikatakan oleh Sudarto, dalam melaksanakan politik (kebijakan, pen.) orang
mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang
dihadapi. Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum
pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan
sengaja dan sadar. Ini berarti memilih dan dan menetapkan hukum pidana sebagai
sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan
semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu
dalam kenyataannya.
Jadi diperlukan
pula pendekatan yang fungsional; dan inipun merupakan pendekatan yang melekat
(inherent) pada kebijakan yang rasional. Salah satu kesimpulan dari Seminar
Kriminologi ketiga tahun 1976 di Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana
hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence.
Pemilihan pada konsepsi perlindungan masyarakat inipun membawa konsekuensi pada
pendekatan yang rasional, seperti dikemukakan oleh Johannes Andenaes sebagai
berikut:
"Apabila orang mendasarkan hukum
pidana pada konsepsi perlindungan masyarakat/social defence, maka tugas
selanjutnya adalah mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil maksimum
harus dicapai dengan biaya yang menimum bagi masyarakat dan minimum penderitaan
bagi individu. Dalam tugas demikian, orang harus mengandalkan pada hasil-hasil
penelitian ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari
bermacam-macam sanksi."
Dari apa yang
dikemukakan J. Andenaes di atas jelas terlihat bahwa pendekatan kebijakan yang
rasional erat pula hubungannya dengan pendekatan ekonomis. Dengan pendekatan
ekonomis di sini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya
atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan dibuat dan digunakannya hukum
pidana) dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti
mempertimbangkan efektivitas berpendapat, bahwa suatu pidana dapat disebut
sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrenta) apabila dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. pidana
itu sungguh-sungguh mencegah;
b. pidana
itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan dari
pada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;
c. tidak
ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/kerugian yang
lebih kecil.
Segi lain yang
perlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan ialah yang berkaitan dengan
nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut
Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud
dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang
perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut menurut Bassiouni,
ialah:
1. Pemeliharaan
tertib masyarakat,
2. Perlindungan
warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat
dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain,
3. Memasyarakatkan
kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum,
4. Memelihara
atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai
keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.
Ditegaskan
selanjutnya bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk
melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. Pidana hanya
dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat; pidana yang
tidak diperlukan tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Selain
itu batas-batas sanksi pidana ditetapkan pula berdasar kepentingan-kepentingan
ini dan nilai-nilai yang mewujudkannya. Berdasarkan pandangan yang demikian,
maka menurut Bassiouni disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis tetapi juga
suatu disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic
but aiso value-based and value-oriented).
Dari uraian di
atas dapatlah disimpulkan bahwa menurut Bassiouni, dalam melakukan kebijakan
hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented
approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang
berorientasi pada nilai (value judgment approach). Antara pendekatan kebijakan
dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan terlalu dilihat sebagai
suatu “dichotomy”, karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga
dipertimbangkan faktor-faktor nilai. Sehubungan dengan hal ini Roeslan Saleh
menanyakan :
Keharusan
rasionalitas itu bukanlah berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan etis dalam
hukum pidana dapat ditinggalkan saja. Juga syarat rasional adalah suatu syarat
moral (Wilkins, Morris, dan Howard). Jadi rasionalitas jangan sampai dikaburkan
oleh pertimbangan-pertimbangan yang bersifat etis. Batas-batas bersifat etis
itu haruslah sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya dirumuskan. Di dalam
batas-batas dari apa yang secara etis dapat diterima haruslah diambil
keputusan-keputusan yang rasional itu.
Kebijakan
kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai karena seperti
dikatakan oleh Christiansen, “the conception of prblem crime and punishment is
an essential part of the culture of any society”. Begitu pula menurut W.
Clifford, “the very foundation of any criminal justice system consists of the
phylosophy behind a given country”. Terlebih bagi Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk
manuasia seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan
tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini penting
tidak hanya karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan,
tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri unsur penderitaan yang
dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan
manusia.
Pendekatan humanistik
dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan
kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradap;
tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai
kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Sehubungan dengan
hal terakhir ini patut kiranya dikemukakan konsepsi kebujakan pidana dari
aliran social defence (the penal policy of social defence) menurut Marc Ancel
yang bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi. Hal ini
kami anggap perlu dikemukakan karena istilah perlindungan masyarakat atau
social defence yang dikaitkan dengan masalah rehabilitasi dan resosialisasi
sudah sering dugunakan di indonesia. Hal ini terlihat misalnya pada Seminar
Kriminologi ketiga tahun 1976 dan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana pada tahun
1980 di Semarang.
Menurut Marc
Ancel, pertanggungjawaban yang didasarkan pada kebebasan individu merupakan
kekuatan penggerak yang utama dari proses penyesuaian- social (the main driving
force of the process of social readaption). Diakui olehnya bahwa masalah
determinisme dan indeterminisme merupakan problem filosofis yang berada di luar
lingkup kebijakan pidana dan hukum pidana. Akan tetapi ditegaskan bahwa kebijakan
pidana yang modern hampir selalu mensyaratkan adanya kebebasan individu. Tujuan
utama setiap perlakuan readaptasi-sosial harus diarahkan pada perbaikan
terhadap penguasaan diri sendiri. Oleh karena itu masalah pertanggungjawaban
(“kesalahan”,pen.) seharusnya tidak boleh diabaikan; malah justru diperkenalkan
kembali sebagai suatu pertanggungjawaban pribadi (“kesalahan individual”,
pen.). Reaksi terhadap perbuatan anti-sosial justru harus dipusatkan pada
konsepsi pertanggungjawaban pribadi ini. Pertanggungjawaban yang dimaksud oleh
Marc Ancel berlainan dengan pandangan
klasik yang mengartikannya sebagai pertanggungjawaban moral secara murni (the
purely moral responsibility), dan berbeda pula dengan pandangan posotivist yang
mengartikannya sebagai pertanggungjawaban menurut hukum atau pertanggung
jawaban objektif (legal or objective view of responsibility) .
Pertanggungjawaban
pribadi (individual responsibility) menurut Marc Ancel menekankan pada perasaan
kewajiban moral pada diri individu dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang
ide tanggung jawab atau kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain
dan juga mendorongnya untuk menyadari moralitas sosial. Pengertian yang
demikian merupakan konsekuensi dari pandangan Marc Ancel yang melihat kejahatan
sebagai suatu manifestasi dari kepribadian si pelaku.
Dari uraian di
atas terlihat, bahwa pendekatan nilai humanistik menuntut pula diperhatikannya
ide “individualisasi pidana” dalam kebijakan/pembaharuan hukum pidana. Ide
individualisasi pada pidana ini antara lain mengandung beberapa karakteristik
sebagai berikut :
a. pertanggungjawaban
(pidana) bersifat pribadi/per- orangan (asas personal);
b. pidana
hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas: “tiada pidana
tanpa kesalahan”);
c. pidana
harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus
ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis
maupun berat-ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana
(perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.
D.
Upaya
Non-Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
Kebijakan
penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah”politik
Kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G.P.
Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
1. penerapan
hukum pidana (criminal law application),
2. pencegahan
tanpa pidana (prevention without punishment), dan
3. mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa
(influencing views of society on crime and punishment/ mass media).
Dengan demikian
uapaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada
sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahat an
terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitik beratkan pada sifat
“preventive” (pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Posisi kunci dan
strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
kejahatan, ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai “The Prevention
of crime and Treatment of Offenders” sebagai berikut:
1. Pada
Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 di Caracas, Venezuela antara lain dinyatakan di
dalam pertimbangan resolusi mengenai “Crime trend and crime prevention
strategies” sebagai berikut:
Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas
lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang,Bahwa strategi pencegahan
kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi
yang menimbulkan kejahatan,bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara
ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional,
standard hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara
golongan besar penduduk.
2. Pada
Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan, Italia, antara lain ditegaskan di dalam
dokumen A/CONF. 121/L/9 (mengenai “Crime prevention in the context of
development), bahwa:
Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana
harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab
ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana kejahatan sering hanya
merupakan gejala/symptom.
3. ada
Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 di Havana, Cuba, antara lain ditegaskan di dalam
dokumen A/CONF. 144/L/17 (mengenai “Social aspects og crime prevention and
criminal justice in the context of development”), sebagai berikut:
Bahwa aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam
pencapaian sasaran strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dan konteks
pembangunan dan harus diberikan prioritas paling utama. Aspek sosial yang oleh
Kongres ke-8 diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan (khususnya dalam masalah “Urban crime”), antara lain :
Kemiskinan,pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan
perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak
cocok/serasi,Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek
(harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan
sosial, Mengendornya ikatan sosial dan keluarga,Keadaan-keadaan/kondisi yang
menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke
negara-negara lain,Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang
bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan
di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan,Menurun atau mundurnya
(kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan
berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan
/ bertetangga,Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern
untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di
lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya,Penyalahgunaan
alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena
faktor-faktor yang disebut di atas,Meluasnya aktivitas kejahatan yang
terorganisasi, khususnya perdagangan obat-bius dan penadahan barang-barang
curian,Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan
sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau
sikap-sikap tidak toleran (intoleransi).
Perlunya sarana
non-penal diintensifkan dan diefektifkan, di samping beberapa alasan yang telah
dikemukakan di atas, juga karena masih diragukannya atau dipermasalahkannya
efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal. Seberapa jauh
pengaruh sarana penal dalam penanggulangan kejahatan, ada beberapa pendapat dan
hasil penelitian berikut ini patut mendapat perhatian:
a. Rubin
menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk
menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh
terhadap masalah kejahatan,
b. Schultz
menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan disuatu negara tidaklah berhubungan
dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecendrungan-kecendrungan
dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau
berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan
masyarakat,
c. Johanness
Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari
keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan
faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan-tindakan kiat,
E.
Contoh
Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan Hukum Pidana Yang Tertuang Dalam
Undang- Undang Narkotika (Uu No. 35/2009 ) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika.
Mengingat betapa besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, maka perlu
diingat beberapa dasar hukum yang diterapkan menghadapi pelaku tindak pidana
narkotika berikut ini:
a. Undang-undang
RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
b. Undang-undang
RI No. 7 tahun 1997 tentang PengesahanUnited Nation Convention Against Illicit
Traffic in Naarcotic Drug and Pshychotriphic Suybstances 19 88 ( Konvensi PBB
tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotrapika, 1988)
c. Undang-undang RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika
sebagai pengganti UU RI No. 22 tahun 1997.
Penyelenggaraan acara pidana (khususnya untuk tindak pidana
umum) didasarkan pada Undang-undang No.
8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang
populer dengan sebutan KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman, dan peraturan
perundang-undangan lainnya sebagai pelengkap. KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman
itu memuat asas-asas yang harus diwujudkan dalam penyelenggaraan acara pidana,
khususnya oleh jajaran aparat penegak hukum (official criminal justice system).
Asas-asas dimaksud antara lain:
a. Peradilan
cepat, sederhana, dan biaya ringan
b. Presumption
of innocence(Praduga tak bersalah)
c. Oportunitas
d. Pemeriksaan
terbuka untuk umum
e. Semua
orang diperlakukan sama di depan hakim
f. Tersangka/terdakwa
berhak mendapatkan bantuan hukum
g. Akusatoir
dan
h. Pemeriksaan
oleh hakim secara langsung dan lisan.
Dengan penyebutan berbeda, Yahya
Harahap, mengemukakan landasan asas atau prinsip sebagai dasar patokan hukum
yang melandasi KUHAP dalam penegakan hukum, yang merupakan tonggak pedoman bagi
instansi jajaran penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP, juga berlaku
bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas
pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP. Landasan asas atau prinsip itu
antara lain: [52]
a.
Asas Legalitas
b.
Asas Keseimbangan
c.
Asas Praduga tak bersalah
d.
Prinsip Pembatasan penahanan
e.
Asas Ganti rugi dan rehabilitasi
f.
Penggabungan pidana dengan tuntutan ganti rugi
g.
Asas Unifikasi
h.
Prinsip Diferensiasi fungsional
i.
Prinsip Saling koordinasi;
j.
Asas Peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dan
k.
Prinsip Peradilan terbuka untuk umum.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam fungsinya
sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sasaran
yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan
terciptanya ketertipan dalam bermasyarakat diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi.dalam mencapai tujuan itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban
antar perorangan di dalam masyarakat mengatur wewenang dan mengatur cara
memecahkan masalah hukum dan memelihara kepastian hukum.
Dengan demikian,
dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung
arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik.
Usaha dan
kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak
dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau
politik hukum pidana juga merupakan bagian adri politik kriminal. Dengan
perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana
identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum
pidana”.
B.
Saran
Adapun saran yang
dapat penulis sampaikan adalah semoga dalam penulisan makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat difungsikan sebagai referensi tambahan bagi pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar